Sabtu, 12 Mei 2012

PROBIOTIK


Probiotik berasal dari kata pro berarti mendukung (lawan katanya anti yang berarti melawan) dan biotic berarti lingkungan hidup. Jadi, probiotik adalah mikroorganisme hidup yang sengaja diberikan dengan harapan memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inang (FAO/WHO. 2001 dalam ISAPP. 2004).
       Probiotik adalah bakteri non patogen yang perkembangbiakannya dipacu secara cepat sehingga mampu mendesak perkembangan bakteri patogen. Probiotik merupakan produk bioteknologi yang di dalamnya terdiri dari strain bakteri yang diseleksi dari alam yang mempunyai peran penting guna memulihkan ekosistem perairan melalui kemampuannya mendegradasi bahan organik dalam media udang yang berasal dari lingkungan eksternal maupun dari lingkungan internal yaitu sisa pakan dan metabolit udang sendiri, disamping itu dapat mereduksi magnesium, amoniak, asam sulfida, nitrit dan lain-lain serta berfungsi sebagai penyaring bakteri pathogen.
       Probiotik adalah mikroorganisme yang memiliki kemampuan mendukung pertumbuhan dan produktivitas udang. Sementara prebiotik bukan organisme, tetapi mempunyai fungsi mendukung perkembangan probiotik (media atau substrat misalnya). Jenis mikroorganisme yang dapat dijadikan agen probiotik bisa dari golongan bakteri, mikroalga, yeast (fungi) atau actinomycetes. Sebagian besar menggunakan bakteri. Dan golongan ini dibagi lagi dalam beberapa kelompok. Ada bakteri Nitrifikasi, Denitrifikasi, Fotosintetik, Bacillus spp, Lactobacillus, Cellulomonas, Pseudomonas, dan Vibrio alginolyticus (Suprapto, 2008).
       Menurut Andayani (2005), latar belakang penggunaan probiotik pada budidaya intensif antara lain :
-          Dalam budidaya intensif (kepadatan tebar 30-40 ekor/m2) untuk udang windu atau 80-100 ekor/m2 udang vannamei, penimbunan kotoran (faeces udang, sisa pakan dan bangkai plankton) di dasar cukup cepat selama pembesaran udang.
-          Kotoran ini walaupun dibersihkan setiap hari masih banyak tertimbun didalam tambak.
-          Dalam waktu pembesaran udang selama minimum 4 bulan terjadi proses pembusukan terutama dalam kondisi anaerob yang menghasilkan gas beracun (H2S, NH3, NO2, dll) yang sangat bahaya bagi udang yang dipelihara. Udang bisa stress dan lebih peka terhadap penyakit dengan dampak akhir kegagalan budidaya.
-          Air sumber banyak terkontaminasi dengan irus dan bakteri pathogen.
-          Pengaruh negatif dari hasil pembusukan kotoran (bahan organik) tersebut dapat diantisipasi dengan penggunaan probiotik secara tepat (jenis dan cara aplikasi).
-          Penggunaan probiotik dapat meningkatkan mutu dan kesehatan lingkungan dan bahan pangan.
       Pada tambak udang intensif dengan padat penebaran yang tinggi, pemberian pakan disuplai 100 % dari luar. Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan, dan ekskresi udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas tambak (Subandiono dkk, 2001).  Selanjutnya dikatakan, sebagian dari kotoran (bahan organik) tersebut akan larut ke dalam air dan akan mengalami proses degradasi oleh bakteri. Proses perombakan bahan organik di dasar tambak akan terus berlangsung hingga mencapai titik kritis yang menyebabkan terjadinya kekurangan oksigen. Selanjutnya, penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang akan menghasilkan amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Kedua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan udang sampai dengan mematikan.
       Di unit pembesaran BCUV pemberian probiotik dilakukan 2 klali dalam 1 minggu yaitu pada hari senin dan kamis. Fungsi dari pemberian probiotik adalah untuk meningkatkan keseimbangan lingkungan sebagi habitat yang menunjang kehidupan organisme budidaya.
       Penggunaan probiotik dalam budidaya udang intensif memiliki peranan antara lain : memperbaiki kualitas air (menurunkan kandungan bahan organik, ammonia, nitrit, H2S, dll.), mempercepat pembentukan warna air dan menjaga kestabilan plankton,  menghasilkan natural antibiotik dan eksoenzym yang dapat menekan kandungan vibrio / bakteri merugikan dalam air sehingga dapat menekan timbulnya kasus penyakit, bila dicampurkan dengan pakan akan menghasilkan enzym dan nutrisi esensial yang sangat dibutuhkan oleh udang (sebagai protein sel tunggal).

Referensi
Andayani, Sri. 2005. Manajemen Kualitas Air Untuk Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan Jurusan Budidaya Peraiaran Universitas Brawijaya. Malang

ISAPP. (2004). Introduction to Probiotics and Prebiotics. www.usprobiotics.org

Subandiono, dkk. (2001). Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Berwawasan Lingkungan. Program Pasca Sarjana

Udang vannamei


       Udang putih Amerika (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu pilihan jenis udang yang dapat dibudidayakan di Indonesia selain udang windu (Litopenaeus monodon). Di Indonesia Udang L. Vannamei lebih dikenal dengan nama udang vannamei.

       a.    Klasifikasi dan Morfologi
       Udang vannamei digolongkan kedalam genus Penaeid pada filum Arthropoda. Ada ribuan spesies di filum ini namun, yang mendominasi perairan berasal dari subfilum crustacea. Ciri-ciri subfilum crustacea yaitu memiliki 3 pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo Decapoda, seperti Litopenaeus chinensis, L. Indicus, L. Japonicus, L. Monodon, L. Stylirostris dan Litopenaeus vannmei. Berikut tata nama udang vannamei menurut Haliman dan Dian (2006):
Kingdom          : Animalia
Subkingdom    : Metazoa
Filum               : Arthropoda
Subfilum          : Crustacea
Kelas               : Malacostraca
Subkelas         : Eumalacostraca
Superordo       : Eucarida
Ordo                : Decapoda
Subordo          : Dendrobrachiata
Famili              : Penaeidae
Genus             : Litopenaeus
Spesies           : Litopenaeus vannamei
       Tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Udang vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut (Haliman dan Dian, 2006),
1)    Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam Lumpur (burrowing).
2)    Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
3)    Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.

b.    Siklus Hidup
       Menurut Haliman dan Dian (2006), siklus hidup udang vannamei sebelum ditebar di tambak yaitu stadia nauplii, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva.
1.    Stadia nauplii
Pada stadia ini, larva berukuran 0,32 – 0,58 mm. Sistem pencernaannya masih belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini benih udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.
2.    Stadia zoea
Stadia zoea terjadi setelah nauplii ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15 – 24 jam. Larva sudah berukuran 1,05 – 3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, dan zoea 3. lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4-5 hari. Pada stadia ini, benih sudah dapat diberi pakan alami, seperti artemia.
3.    Stadia mysis
Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropod) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva berkisar 3,50 – 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 sub stadia, yaitu mysis 1, mysis 2 dan mysis 3 yang berlangsung selama 3-4 hari sebelum masuk pada stadia postlarva (PL)
4.    Stadia postlarva (PL)
Pada stadia ini, benih udang vannamei sudah tampak seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti postlarva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang sudah mulai aktif bergerak lurus ke depan dan memiliki kecenderungan sifat sebagai karnivora.

c.    Tingkah Laku saat Makan
       Udang termasuk golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, copepoda, polychaeta, larva kerang, dan lumut. Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor. Organ sensor ini terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena  dan maxilliped. Dengan bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap, udang akan merespon untuk mendekati atau menjauhi sumber pakan.
       Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dijepit menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan esophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di dalam mulut.
       Kebiasaan makan dan cara makan (feeding and food habit) juga identik dengan udang windu, yaitu tergolong hewan omnivorous scavenger, pemakan segala (hewan dan tumbuhan) dan bangkai. Jenis makanan yang dimakan udang vannamei antara lain plankton (fitoplankton dan zooplankton), alga bentik, detritus dan bahan organik lainnya. Yang membedakan dengan udang windu dari aspek feeding and food habit adalah pada udang vannamei lebih rakus (piscivorous) dan membutuhkan protein yang lebih rendah. Udang vannamei membutuhkan pakan yang mengandung protein 32-38% (Kordi, 2007).

Referensi
Haliman, W. R dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarata
Kordi ,M.G.H., dan A. B. Tandjung. 2007. Pengelolaan Kualitas Perairan Dalam Budidaya Perairan. Cetakan Pertama. Rineka Cipta. Jakarta.